Sabtu, 05 Februari 2011

Hukum Salam-salaman

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Mungkin ini berguna buat antum mengenai adab bersalaman.
Artkel ini ana kutip dari http://www.almanhaj.or.id


BERSALAMAN [BERJABAT TANGAN] SETELAH SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaa,
Syaikh Abdul Aiz bin Baz ditanya : Bagaimana hukum bersalaman setelah
shalat, dan apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat
sunnah ?

Jawaban
Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama
muslim, Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam senantiasa menyalami para
sahabatnya Radhiyallahu ?anhum saat berjumpa dengan mereka, dan para
sahabat pun jika berjumpa mereka saling bersalaman, Anas
Radhiyallahu ?anhu dan Asy-Sya?bi rahimahullah berkata :

?Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam apabila
berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari
bepergian, mereka berpelukan?

Disebutkan dalam Ash-Shahihain [1], bahwa Thalhah bin Ubaidillah
Radhiyallahu ?anhu, salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak
dari halaqah Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam di masjidnya menuju
Ka?ab bin Malik Radhiyallahu ?anhu ketika Allah menerima taubatnya,
lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima taubatnya.
Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi
Shallallahu ?alaihi wa sallm dan setelah wafatnya beliau, juga
riwayat dari Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

?Artinya : Tidaklah dua orang muslim berjumpa lalu bersalaman,
kecuali akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana
bergugurannya dedaunan dari pohonnya? [2]

Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan,
jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman
setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu
disamping karena hal ini bisa menguatkan dan menghilangkan permusuhan.

Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu,
disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang
masyru?. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung
bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya
tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya
dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat
tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan
oleh Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam setelah shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika
sebelumnya belum sempat bersalaman, karena jika telah ersalaman
sebelumnya maka itu sudah cukup.

[Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar?iyyah Fi Al-Masa?il Al-
Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-
Fatwa Terkini, hal 199-200 Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi 4418, Muslim kitab At-Taubah 2769
[2]. Abu Daud, Kitab Al-Adab 5211-5212, At-Turmudzi Kitab Al-Isti?
dzan 2728, Ibnu Majah Kitab Al-Adab 3703, Ahmad 4/289, 303 adapun
lafazhnya adalah : ?Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu
bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah?.

Hukum mengaminkan doa

para pembaca, terutama yang bertanya tentang hukumnya mengaminkan doa yang dipimpin oleh seseorang dalam berjama'ah : Rasulullah S.A.W bersabda: “Tidak berkumpul sesebuah kaum, sebahagian dari mereka berdoa dan sebahagian yang lain mengaminkan, kecuali Allah akan memustajabkan doa mereka." (Diriwayatkan dari Habib Ibn Maslama al-Fihri oleh At-Tabarani dlm Al-Kabir, Al-Hakim dlm Al-Mustadrak meletakkan ia sebagai sahih dan Ad-Daraqutni)

Status hadith:

1. Ibn Hajar al-haitami dlm majma’ az-zawaid mengatakan rantaian perawi hadith ini adalah memenuhi criteria al-bukhari dan muslim kecuali Ibn Lahi’ah.

2. Riwayat Ibn Lahi’ah menjadi sahih sekiranya diriwayatkan dgn perawi tertentu spt Abdullah ibn Yazid al-muqri’. Inilah pendapat Ibn Hajar dlm Tahzib al-tahzib. Dlm kitab yang lainnya, Ibn Hajar dlm Tabaqat al-Mudallisin mengatakan kedha’ifan dia adalah rendah dan dikecualikan dari tadlis.

3. Pentahqiq hadith Dr Suhaib Hassan memberi komentarnya tentang Abdullah ibn Lahi’ah yakni dia adalah seorang qadhi di mesir. Ia perawi yang dhaif.

4. Imam Az-Zahabi dlm kitabnya Talkhis al-Mustadrak menjelaskan kedudukan Abdullah ibn Lahi’ah sebagai status yang rendah dlm sanad yg hassan atau darjat yang tinggi dari kalangan sanad yang dhaif.

Kesimpulannya: Hadith ini dhaif tetapi ia tidak terlalu dhaif.

jadi mengaminkan doa secara zahar dan berzama'ah tidak ada dasar hadits yang shahih. sebagian ulama melaksanakan atau mengatakan hal itu mubah bahkan sunnah, karena mengambil sisi muamalahnya.

Historis Upacara Tahlilan

Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama.

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.